Judul Buku : Kebijakan Legislasi
Tentang Sistem Pertanggung jawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia
Penulis : Dr. Dwidja Priyatno, SH, M.Hum, Sp.N.
Penerbit : CV. Utomo/2004/Bandung
Materi yang dibahas dalam
buku tersebut di satu sisi sudah menjelaskan mengenai sistem pertanggungjawaban
pidana oleh kejahatan korporasi, akan tetapi di sisi lain masih ada kekurangan,
seharusnya penulis juga harus lebih mendetail mmbahas materi tersebut dalam
kerangka penal reform, khususnya pembahasan kejahatan korporasi di dalam RUU
KUHP.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa
peran korporasi saat ini menjadi sangat penting. Peran mereka mendominasi
kehidupan sehari-hari, apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang
menyediakan kebutuhan, tapi korporasi. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara
dan tenaga kerja, namun revolusi struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan
kekuatan korporasi yang besar, sehinga negara terlalu tergantung korporasi
sehingga Negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Karena itu korporasi harus
memiliki tanggung jawab. Ini seperti setiap individu tidak dapat melukai setiap
individu lainnya. Dalam hal ini perlu ada pertanggungjawaban pidana secara
tegas, agar korporasi tidak mencemari sungai, pantai atau membahayakan jiwa
pekerja atau publik atau lainnya. Juga agar korporasi tidak menjadi tempat tumbuh
suburnya tempat korupsi. Berbagai usaha untuk menuntut tanggung jawab korporasi
terus dilakukan, namun penuh hambatan, di antara mereka tidak tersentuh oleh
hukum. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan
pertanggungjawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan.
Dalam RUU KUHP masih
terdapat permasalahan dalam beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan
korporasi, seperti misalnya pada pasal 48 disebutkan,
“bahwa tindak pidana dilakukan oleh
korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi, atau demi kepentingan korporasi berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik diri
sendiri atau bersama-sama”. Pasal tersebut tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan lingkup usaha korporasi, sehingga menimbulkan interpretatif. Selain
pasal tersebut dimungkinkan juga masih banyak persoalan-persoalan yang terdapat
di dalam pasal khususnya mengenai kejahatan korporasi dan masih harus terus
disempurnakan.
Selain itu juga harus dibahas mengenai perluasan pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi, contohnya dalam kasus-kasus kecelakaan transportasi,
pertanggungjawaban pidana harus diperluas, bukan hanya terhadap individu,
tetapi juga kepada korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk dimintakan. Adalah sangat
tidak adil apabila perusahaan-perusahaan yang mengabaikan regulasi yang telah
ditetapkan, lepas dari jerat hukum meskipun perbuatan perusahaan tersebut telah
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Dalam buku tersebut juga tidak menjelaskan secara luas mengenai pelaku
dan korporasi, jadi pembahasan hanya pada pemidanaan terhadap pengurus atau
korporasinya saja, padahal dapat disejajarkan antara pelaku dan korporasi dalam
pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri, bukan alternatif. Filosofi
pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat perbuatan
individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Sedangkan kepada korporasi
lebih ditujukan untuk 'mengganti' kerugian yang ditimbulkan. Kedua wujud
pertanggungjawaban tersebut dalam kerangka menciptakan rasa keadilan bagi
masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan. Di samping itu, hukuman bagi
korporasi juga bertujuan untuk mengontrol korporasi yang akan melakukan
kejahatan. Dengan mempermalukan perusahaan yang melakukan kejahatan, diharapkan
perusahaan tersebut berbenah diri. Sementara bagi perusahaan lainnya, menjadi
peringatan agar tidak melakukan hal serupa yang merugikan masyarakat.
Kebijakan legislasi yang berlaku pada saat ini khususnya yang memuat
tentang pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang
dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai
kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu
juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut.
Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga
sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah
korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana
adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada
dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggungjawaban
korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan
serta tindakan. Meskipun hal tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan
suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak
menjelaskan.
Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada
majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan
terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal. Selain itu
berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya oleh aparatur
penegak hukum dalam penanganan masalah kejahatan korporasi masih beranjak dari
paradigma lama yakni melihat konsep kejahatan secara konvensional, berakibat
penanganannya juga tidak berbeda dengan penanganan kejahatan konvensional
lainnya.
Sebagai kejahatan organisatoris kejahatan korporasi dapat menimbulkan
dampak negatif yang demikian luas. Antara lain meliputi kerugian di bidang
materi, kerugian di bidang kesehatan, dan keselamatan jiwa, maupun kerugian di
bidang di bidang sosial dan moral. Namun betapapun demikian, penegakan hukum
masih belum efektif, karena peran korporasi dalam bidang perekonomian cukup
besar dan didalamnya secara langsung melibatkan banyak orang, sehingga
menciptakan kondisi dilematik bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan
tegas. Ironisnya, justru kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku korporasi untuk
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, kendati tindakannya berdampak negatif,
karakter kejahatan korporasi yang masih belum dipahami sepenuhnya oleh para
penegak hukum maupun masyarakat berakibat tidak jarang penyelesaian terhadap
kejahatan korporasi menjadi tidak tuntas, bahkan sanksi yang diterapkan tidak membuat jera, dan luasnya lingkup
permasalahan kejahatan korporasi menuntut penyikapan dari berbagai aspek hukum sehingga penegakannya tidak bisa terptong-potong. Pelaku
kejahatan korporasi yang dijatuhi sanksi pidana saja belum tentu persoalan
selesai manakala pelaku dipidana, sementara operasional korporasinya berjalan
terus. Di lain pihak, sampai sekarang belum ada pelindungan hukum bagi tenaga
kerja yang tempat bekejanya dicabut izin usahanya karena melakukan kejahatan.
Dalam buku tersebut belum
menjelaskan secara panjang lebar mengenai jenis sanksi yang akan diterapkan
pada kejahatan korporasi. Pertanyaan mendasar, kepada siapa sanksi
dijatuhkan, kepada korporasi atau kepada individu. Sesungguhnya mengapa
korporasi harus dikenakan pidana, jika hanya pengurus hanya dikenakan, pengurus
bisa diganti, sementara korporasi bisa terus berlanjut dan kejahatan dapat berlanjut
juga. Penghukuman terhadap korporasi, yang mengharapkan dimaksimalkannya bagian
hukum lain sebelum melakukan tuntutan pidana (ultimum remedium), lebih
menekankan tataran praktis yang dapat berakibat pada diskriminasi hukum.
Tetapi, penerapan sanksi pada korporasi adalah seperti buah simalakama. Jika
tidak dijatuhi pidana maka rasa keadilan bagi korban terabaikan. Konsekuensi
penjatuhan pidana terhadap korporasi menyangkut banyak hal, misalnya menyangkut
pihak ketiga lainnya. Jangan sampai pidana terhadap korporasi berakibat pada pihak
ketiga yang sebenarnya korban korporasi juga. Begitu pula dengan victim dari kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi sebenarnya berbeda dengan victim dari kejahatan yang dilakukan oleh orang biasa. Victimisasi tindak pidana yang
dilakukan korporasi sangat luas, bisa masyarakat, lingkungan, negara, atau
bahkan potensial victim, dengan
kata lain multi dimensi.
Sanksi pidana yang sebaiknya dijatuhkan pada korporasi adalah denda (yang
sangat berat) yang merupakan satu-satunya pidana pokok yang dapat dijatuhkan
pada korporasi, disamping jenis pidana tambahan dan sanksi-sanksi aministratif.
Agar pidana denda berlaku efektif atau mempunyai daya pencegah mka harus
dijatuhkan pidana denda yang sangat berat sehingga korporasi tidak mampu
menghitung target hasil kejahatan. Sedangkan apabila ingin menjatuhkan pidana
tambahan yang berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan harus benar-benar dipertimbangkan
akibat-akibat yang timbul, karena penjatuhan jenis pidana tambahan mempunyai
dampak yang sangat luas.
Denda yang maksimal tiga milyar
masih perlu untuk dipertanyakan. Tetapi jika dijatuhkan pada Usaha Kecil
Menengah, hal ini ibarat hukuman mati. Masih ada kekurangan pengaturan mengenai
sanksi terhadap korporasi, misalnya bagaimana jika korporasi tidak bisa
membayar denda. Sementara itu, sanksi terhadap korporasi masih bertolak ukur
pada pidana terhadap orang (manusia). Di tataran praktis, sanksi-sanksi terhadap
korporasi ini dikhawatirkan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Dalam
buku tersebut diatas ada kekurangan yang sebenarnya justru sangat dibutuhkan,
yaitu mengenai penanggulangan kejahatan korporasi. Usaha penanggulangan
kejahatan korporasi harus dilakukan secara integratif antara kebijakan penal
dengan non penal. Penanggulangan kejahatan korporasi dengan sarana non penal
diarahkan dalam rangka mengembangkan tanggungjawab korporasi, yaitu mengubah
sikap dan struktur dan sikap korporasi, tindakan pemerintah untuk melalui
peraturan perundang-undangan, tindakan yang bersifat administratif dari
pejabat/birokrasi, sanksi sosial berupa publikasi terhadap korporasi yang
melakukan kejahatan, aksi konsumen untuk menekan perilaku menyimpang korporasi,
serta pemberian kewenangan yuridis untuk meninjau aktivitas korporasi.