Selasa, 30 Oktober 2012

REVIEW BUKU




Judul Buku     :   Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban 
                             Pidana Korporasi Di Indonesia
Penulis            :   Dr. Dwidja Priyatno, SH, M.Hum, Sp.N.
Penerbit          :   CV. Utomo/2004/Bandung

Materi yang dibahas dalam buku tersebut di satu sisi sudah menjelaskan mengenai sistem pertanggungjawaban pidana oleh kejahatan korporasi, akan tetapi di sisi lain masih ada kekurangan, seharusnya penulis juga harus lebih mendetail mmbahas materi tersebut dalam kerangka penal reform, khususnya pembahasan kejahatan korporasi di dalam RUU KUHP.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat penting. Peran mereka mendominasi kehidupan sehari-hari, apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang menyediakan kebutuhan, tapi korporasi. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun revolusi struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehinga negara terlalu tergantung korporasi sehingga Negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Karena itu korporasi harus memiliki tanggung jawab. Ini seperti setiap individu tidak dapat melukai setiap individu lainnya. Dalam hal ini perlu ada pertanggungjawaban pidana secara tegas, agar korporasi tidak mencemari sungai, pantai atau membahayakan jiwa pekerja atau publik atau lainnya. Juga agar korporasi tidak menjadi tempat tumbuh suburnya tempat korupsi. Berbagai usaha untuk menuntut tanggung jawab korporasi terus dilakukan, namun penuh hambatan, di antara mereka tidak tersentuh oleh hukum. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggungjawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan.
Dalam RUU KUHP masih terdapat permasalahan dalam beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan korporasi, seperti misalnya pada pasal 48 disebutkan, “bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik diri sendiri atau bersama-sama”. Pasal tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan lingkup usaha korporasi, sehingga menimbulkan interpretatif. Selain pasal tersebut dimungkinkan juga masih banyak persoalan-persoalan yang terdapat di dalam pasal khususnya mengenai kejahatan korporasi dan masih harus terus disempurnakan.
Selain itu juga harus dibahas mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, contohnya dalam kasus-kasus kecelakaan transportasi, pertanggungjawaban pidana harus diperluas, bukan hanya terhadap individu, tetapi juga kepada korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk dimintakan. Adalah sangat tidak adil apabila perusahaan-perusahaan yang mengabaikan regulasi yang telah ditetapkan, lepas dari jerat hukum meskipun perbuatan perusahaan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Dalam buku tersebut juga tidak menjelaskan secara luas mengenai pelaku dan korporasi, jadi pembahasan hanya pada pemidanaan terhadap pengurus atau korporasinya saja, padahal dapat disejajarkan antara pelaku dan korporasi dalam pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri, bukan alternatif. Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Sedangkan kepada korporasi lebih ditujukan untuk 'mengganti' kerugian yang ditimbulkan. Kedua wujud pertanggungjawaban tersebut dalam kerangka menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan. Di samping itu, hukuman bagi korporasi juga bertujuan untuk mengontrol korporasi yang akan melakukan kejahatan. Dengan mempermalukan perusahaan yang melakukan kejahatan, diharapkan perusahaan tersebut berbenah diri. Sementara bagi perusahaan lainnya, menjadi peringatan agar tidak melakukan hal serupa yang merugikan masyarakat.
Kebijakan legislasi yang berlaku pada saat ini khususnya yang memuat tentang pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Meskipun hal tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak menjelaskan.
Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal. Selain itu berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan masalah kejahatan korporasi masih beranjak dari paradigma lama yakni melihat konsep kejahatan secara konvensional, berakibat penanganannya juga tidak berbeda dengan penanganan kejahatan konvensional lainnya.
Sebagai kejahatan organisatoris kejahatan korporasi dapat menimbulkan dampak negatif yang demikian luas. Antara lain meliputi kerugian di bidang materi, kerugian di bidang kesehatan, dan keselamatan jiwa, maupun kerugian di bidang di bidang sosial dan moral. Namun betapapun demikian, penegakan hukum masih belum efektif, karena peran korporasi dalam bidang perekonomian cukup besar dan didalamnya secara langsung melibatkan banyak orang, sehingga menciptakan kondisi dilematik bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas. Ironisnya, justru kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku korporasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, kendati tindakannya berdampak negatif, karakter kejahatan korporasi yang masih belum dipahami sepenuhnya oleh para penegak hukum maupun masyarakat berakibat tidak jarang penyelesaian terhadap kejahatan korporasi menjadi tidak tuntas, bahkan sanksi yang diterapkan  tidak membuat jera, dan luasnya lingkup permasalahan kejahatan korporasi menuntut penyikapan dari berbagai aspek hukum sehingga  penegakannya tidak bisa terptong-potong. Pelaku kejahatan korporasi yang dijatuhi sanksi pidana saja belum tentu persoalan selesai manakala pelaku dipidana, sementara operasional korporasinya berjalan terus. Di lain pihak, sampai sekarang belum ada pelindungan hukum bagi tenaga kerja yang tempat bekejanya dicabut izin usahanya karena melakukan kejahatan.
Dalam buku tersebut belum menjelaskan secara panjang lebar mengenai jenis sanksi yang akan diterapkan pada kejahatan korporasi. Pertanyaan mendasar, kepada siapa sanksi dijatuhkan, kepada korporasi atau kepada individu. Sesungguhnya mengapa korporasi harus dikenakan pidana, jika hanya pengurus hanya dikenakan, pengurus bisa diganti, sementara korporasi bisa terus berlanjut dan kejahatan dapat berlanjut juga. Penghukuman terhadap korporasi, yang mengharapkan dimaksimalkannya bagian hukum lain sebelum melakukan tuntutan pidana (ultimum remedium), lebih menekankan tataran praktis yang dapat berakibat pada diskriminasi hukum. Tetapi, penerapan sanksi pada korporasi adalah seperti buah simalakama. Jika tidak dijatuhi pidana maka rasa keadilan bagi korban terabaikan. Konsekuensi penjatuhan pidana terhadap korporasi menyangkut banyak hal, misalnya menyangkut pihak ketiga lainnya. Jangan sampai pidana terhadap korporasi berakibat pada pihak ketiga yang sebenarnya korban korporasi juga. Begitu pula dengan victim dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sebenarnya berbeda dengan victim dari kejahatan yang dilakukan oleh orang biasa. Victimisasi tindak pidana yang dilakukan korporasi sangat luas, bisa masyarakat, lingkungan, negara, atau bahkan potensial victim, dengan kata lain multi dimensi.
Sanksi pidana yang sebaiknya dijatuhkan pada korporasi adalah denda (yang sangat berat) yang merupakan satu-satunya pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi, disamping jenis pidana tambahan dan sanksi-sanksi aministratif. Agar pidana denda berlaku efektif atau mempunyai daya pencegah mka harus dijatuhkan pidana denda yang sangat berat sehingga korporasi tidak mampu menghitung target hasil kejahatan. Sedangkan apabila ingin menjatuhkan pidana tambahan yang berupa penutupan seluruh atau sebagian  perusahaan harus benar-benar dipertimbangkan akibat-akibat yang timbul, karena penjatuhan jenis pidana tambahan mempunyai dampak yang sangat luas.
Denda yang maksimal tiga milyar masih perlu untuk dipertanyakan. Tetapi jika dijatuhkan pada Usaha Kecil Menengah, hal ini ibarat hukuman mati. Masih ada kekurangan pengaturan mengenai sanksi terhadap korporasi, misalnya bagaimana jika korporasi tidak bisa membayar denda. Sementara itu, sanksi terhadap korporasi masih bertolak ukur pada pidana terhadap orang (manusia). Di tataran praktis, sanksi-sanksi terhadap korporasi ini dikhawatirkan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Dalam buku tersebut diatas ada kekurangan yang sebenarnya justru sangat dibutuhkan, yaitu mengenai penanggulangan kejahatan korporasi. Usaha penanggulangan kejahatan korporasi harus dilakukan secara integratif antara kebijakan penal dengan non penal. Penanggulangan kejahatan korporasi dengan sarana non penal diarahkan dalam rangka mengembangkan tanggungjawab korporasi, yaitu mengubah sikap dan struktur dan sikap korporasi, tindakan pemerintah untuk melalui peraturan perundang-undangan, tindakan yang bersifat administratif dari pejabat/birokrasi, sanksi sosial berupa publikasi terhadap korporasi yang melakukan kejahatan, aksi konsumen untuk menekan perilaku menyimpang korporasi, serta pemberian kewenangan yuridis untuk meninjau aktivitas korporasi.

Sabtu, 11 Februari 2012

REVIEW BUKU

Judul Buku     :   Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban                               Pidana Korporasi Di ...